Eko Tjahyono
seorang rakyat biasa seperti kita saat ini. Sosoknya relatif kecil,
tetapi karyanya bagi kemajuan pendidikan di Tanah Air bisa dikatakan cukup
besar. Berawal dari sebuah perpustakaan bambu sederhana yang didirikan di
kampungnya, sekarang Eko Tjahyono mampu mengajak ribuan orang di
dalam dan luar kampungnya untuk gemar membaca.
Kisah pejuang
perpustakaan kampung ini dimulai pada tahun 1998 saat Eko membangun
perpustakaan kecil-kecilan di rumahnya. Keinginan membaca Eko tumbuh subur saat
dia memiliki banyak waktu luang setelah mengalami pemutusan hubungan
kerja dari pabrik konfeksi tempatnya dia bekerja. Pabrik tempat Eko bekerja tak
bisa bertahan, terimbas krisis moneter. Banyaknya waktu luang membuat Eko dalam
sehari bisa membaca sampai sekitar 3 kilogram koran bekas.
Melihat keasyikan pria
itu membaca koran, satu per satu tetangga Eko kemudian tertarik untuk turut
membaca. Dia bercerita, awalnya mereka heran mengapa Eko bisa asyik membaca
koran. Eko pun mencoba mengajak para tetengganya untuk menarik minat membaca,
dengan menyediakan koran, majalah-majalah.
Seiring dengan semakin
banyaknya para tetangga yang tertarik ikut membaca majalah dan koran, lambat
laun koran-koran bekas itu pun menggunung di rumahnya. Hari demi hari,
semakin banyak pengunjung ”perpustakaan”-nya. Kondisi itu menuntut Eko untuk
berusaha mencarikan bahan bacaan lebih banyak lagi.
Pada
tahun 2008, Eko pun memberanikan diri mendirikan perpustakaan di lahan kosong
milik tetangganya yang terletak di samping tanah makam desa. Namun,
keterbatasan biaya membuat Eko hanya mampu membangun perpustakaan bambu dan
diberinya nama”Perpustakaan Anak Bangsa”.
Ajang ”nongkrong”
Meski awalnya keberadaan
perpustakaan itu sempat dicap ”miring” oleh sebagian tetangga di sekitar lokasi
karena menjadi ajang nongkrong pemuda-pemudi, perpustakaan bambu itu nyatanya
bisa terus berkembang. Jumlah buku dan anggota Perpustakaan Anak Bangsa pun
semakin banyak. Sekarang ini dia memperkirakan anggotanya sudah lebih dari
10.000 orang. Lebih dari 2.000 anggota di antaranya adalah pelajar. Anggota
lain berasal dari beragam latar belakang, mulai dari tukang becak, ibu rumah
tangga, petani, sampai para pelajar dari dalam dan luar kampungnya.
Para anggota Perpustakaan
Anak Bangsa umumnya senang mengunjungi tempat itu karena Eko meminjamkan
buku-buku koleksinya secara gratis. Sementara bagi Eko, semakin banyak
orang mau membaca saja sudah menyenangkan hatinya. Dengan membaca, Eko berharap
apa pun kondisinya, orang tersebut tetap mempunyai pengetahuan luas dan mampu
berpikir lebih terbuka untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Warga di kampung Eko yang
rata-rata bekerja sebagai buruh tani, pencari kayu di hutan, peternak, atau
kuli bangunan di kota itu sesungguhnya juga haus akan pengetahuan. Bagi Eko,
kalau pikiran mereka lebih terbuka dan pintar, hidup seseorang akan bahagia,
apa pun pekerjaan dan berapa pun penghasilannya. Perpustakaan Anak Bangsa pun
terus berkembang. Eko membiayai operasional perpustakaannya dari hasil menjual
tulisannya ke sejumlah surat kabar. Ia juga mengambil sebagian penghasilan dari
usaha menjual bahan makanan pokok yang kala itu dijalankannya bersama sang
kakak.
Namun, suatu ketika, saat
lahan tempat perpustakaan itu akan dijual pemiliknya (Eko menempati lahan itu
dengan gratis), dia mulai kebingungan. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu
coba membeli lahan tersebut agar perpustakaan yang sudah memiliki banyak
anggota itu tidak tutup.
Bahkan, Eko sempat
berniat untuk menjual ginjalnya untuk membeli lahan tersebut meski akhirnya
niat itu dibatalkan. Di tengah situasi sulit itu, Perpustakaan Anak Bangsa
terus berkembang. Jika awalnya koleksi buku-bukunya terbatas, kini koleksinya
beragam, mulai dari majalah Bobo, buku pelajaran sekolah, buku komputer, novel
roman seperti karya Mira W, novel terjemahan, sampai buku-buku karya Pramoedya
Ananta Toer. Perpustakaan Anak Bangsa bahkan menyediakan novel-novel berbahasa
Inggris meski dalam jumlah yang masih terbatas.
Perjuangan Eko selama
sekitar 13 tahun pun mulai memperlihatkan hasil. Juli 2011, atas bantuan dan
perhatian banyak pihak, dia akhirnya bisa membeli lahan dan mampu membangun
perpustakaan berdinding bata. Kini, tidak hanya Perpustakaan Anak Bangsa yang
berkembang. Berbagai perpustakaan mandiri lain, baik di Malang maupun di luar
Malang, turut maju. Mereka menjadikan perpustakaan buatan Eko sebagai rujukan
untuk mendapatkan sumbangan buku. ”Keinginan saya dengan Perpustakaan Anak
Bangsa ini sudah tercapai, yaitu menjadikannya perpustakaan permanen.
Orang-orang di kampung saya juga sudah mencintai buku. Mereka suka membaca,”
katanya.
Eko menambahkan,
”Sekarang saya lebih tertarik membangun sudut-sudut baca di sejumlah titik,
seperti pos tukang ojek, puskesmas, dan pasar. Meski jumlah bukunya
sedikit, sudut baca ini bisa ada di mana saja dan mudah dicapai lebih banyak
kalangan. Artinya, semakin banyak orang bisa membaca. ”Semangat Eko untuk
mengobarkan api membaca memang tidak padam. Ia berniat tetap mengelola
perpustakaannya sampai tubuhnya tidak kuat lagi mencari buku untuk bahan bacaan
bagi anggota perpustakaan.
Rencana membuka warung
nasi dan es di depan perpustakaan dianggap Eko cukup efektif untuk membiayai
operasional perpustakaan dan kebutuhan hidupnya ke depan”Mengelola perpustakaan
itu tidak butuh banyak biaya. Kita hanya butuh niat yang kuat,” ujarnya.
Beragam penghargaanpun
telah diterima oleh Eko atas semangat serta keinginannya yang kuat untuk
membangun minat membaca rakyat kampungya. kecintaan banyak orang untuk membaca,
seperti Nugra Jasadharma Pustakaloka dari Perpustakaan Nasional RI, Penghargaan
Mutiara Bangsa Bidang Pendidikan, serta gelar Taman Bacaan Kreatif dan
Rekreatif Se-Indonesia dari Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan
Informal Kementerian Pendidikan Nasional pada Mei 2011 untuk Perpustakaan Anak
Bangsa.
Bermula
dari kampung, kini Eko menjadi setitik cahaya penerang pendidikan di Tanah Air.
Semoga semangat ini tetap terjaga dan menular pada lebih banyak orang. Hanya
berawal dari sebuah perpustakaan bambu sederhana di
kampungnya, sekarang Eko Tjahyono mampu menyirami dahaga membaca ribuan orang.
Eko Tjahyono patut untuk diberikan penghargaan terbaik di dunia perpustakaan
yang sudah maju sekarang ini. “aku ingin menjadii seorang yang berkeinginan
yang kuat seperti Eko Tjhyono “.
Dan aku pun berharap
kepada kita semua ayoo kita maju untuk membangun perpustakaan kita yang
sederhana tapi ribuan orang gemar untuk minat membaca. Setiap kita mau berusaha
dan berjuang , niscaya akan memetiknya hasilnya seperti Eko Tjahyono, usaha dan
kerja keras dia untuk mencerdaskan anak bangsa berhasil , perpustakaan
yang sangat sederhana itu pun sekarang maju dan berkembang dimana-mana,
bahkan eko mendptkan award dr kick andy heroes.
Sumber: Kompas, 9
September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar